Bambang Suminto telanjur jatuh hati kepada anak berkebutuhan khusus. Mulai dari lemparan sepatu yang hampir mengenai kepala hingga pelukan sayang dari anak-anak itu biasa diterimanya. Bahkan, ketika sebagian orang ”menyerah”, Bambang tetap menaruh senyum di wajahnya. Rekan-rekannya, sesama guru sekolah luar biasa, sampai menjuluki dia sebagai ”sang spesialis SLB”.
Bambang memang dikenal sebagai pendamping perintisan SLB, terutama oleh para perintis SLB di daerah Gunung Kidul, DI Yogyakarta. Selain merintis SLB Bakti Putra di Kecamatan Karangmojo, dia juga membidani lahirnya tiga sekolah luar biasa yang lain: SLB Suharjo Putra di Kecamatan Patuk, SLB Purworaharjo di Kecamatan Purwosari, dan SLB Krida Mulya di Kecamatan Rongkop.
Ia berperan besar dalam pertumbuhan hingga pengembangan 4 dari 6 SLB rintisan yang dikelola kelompok masyarakat di Gunung Kidul. Perintis SLB Suharjo Putra, Jotham Sungkowo Hardjo (61), bercerita, langkahnya untuk mendirikan SLB menjadi makin mantap setelah mendapat bantuan ilmu sekaligus tenaga dari Bambang.
Ketika Jotham mengatakan Bambang adalah satu-satunya rujukan untuk memulai perintisan SLB di Gunung Kidul, Bambang berkilah bahwa banyak orang seperti dia. Tetapi, jika dilihat dari sejarah perintisan SLB di Gunung Kidul, Bambang bisa dikatakan selalu berkutat di lapangan dan berusaha mengatasi beragam persoalan yang muncul pada perintisan awal SLB.
Ketika di wilayah Kabupaten Gunung Kidul hanya terdapat satu SLB—kini menjadi SLB negeri—Bambang mulai membangun SLB rintisan tahun 1981. Kala itu, pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus masih merupakan hal yang ”aneh” di kalangan masyarakat setempat. Jangankan SLB, sekolah formal biasa pun masih langka.
”Saya bukan ahli (mendirikan SLB), melainkan orang yang kebetulan lebih dulu mengalami pahitnya perintisan SLB sehingga bisa membagikan ilmu perintisan kepada mereka yang tertarik merintis SLB,” ujar Bambang.
Pertautannya dengan anak berkebutuhan khusus dimulai ketika Bambang diajak ayahnya, Kepala Desa Girikarto, Kecamatan Panggang, Gunung Kidul, meninjau kondisi desa. Kala itu, Bambang melihat sebagian orangtua harus mengajak serta anak mereka yang penyandang tunanetra untuk bertani meskipun untuk mencapai sawah mereka harus naik-turun jurang.
Maka, selulus dari sekolah guru pendidikan luar biasa di Surabaya, dia memilih pulang kampung untuk merintis SLB di Gunung Kidul. Bambang pernah menggunakan rumahnya di Wonosari untuk menampung anak berkebutuhan khusus sebelum pindah ke Karangmojo.
Setelah berdiskusi dengan aparat pemerintahan desa dan mendapat dukungan dari beberapa orangtua, dia mulai membuka kelas di Desa Ngawis, Karangmojo. Ia juga harus aktif mencari anak berkebutuhan khusus dari rumah ke rumah agar mereka bersekolah. Pada 1982, Bambang lalu didaulat menjadi koordinator perintisan SLB Bakti Putra di Kecamatan Karangmojo.
Saat itu, masyarakat antusias turut berpartisipasi merintis pendidikan luar biasa. Rintisan SLB ini juga mendapat dukungan dari kepala desa dan tokoh masyarakat. Jimpitan beras dari warga bahkan dialihkan untuk pendanaan operasional awal bagi SLB Bakti Putra. Setelah 19 tahun menempati balai desa, SLB Bakti Putra bisa memiliki bangunan kelas yang dilengkapi asrama.
Ketika SLB Bakti Putra mulai dinaungi yayasan sejak 1983, Bambang menjadi Kepala Sekolah Yayasan Bakti Putra. Dia juga diangkat menjadi kepala sekolah negeri oleh pemerintah pada 1986. Dari awalnya hanya 12 anak berkebutuhan khusus yang bersekolah, kini SLB Bakti Putra menampung 57 siswa.
Namun, kesadaran orangtua di pedesaan untuk menyekolahkan anaknya yang berkebutuhan khusus ke SLB relatif masih rendah membuat Bambang tetap harus mendatangi rumah ke rumah. Ia juga berupaya menemukan anak-anak berkebutuhan khusus lewat sosialisasi ke dusun-dusun. Sosialisasi makin dia gencarkan, terutama menjelang tahun ajaran baru.
Tahun 2005, Bambang mendampingi Jotham untuk perintisan SLB Suharjo Putra. Ia mengawal bagian terberat dari perintisan SLB, yakni meyakinkan warga dan mendapatkan izin dari pemerintah desa hingga dinas pendidikan.
Tak berhenti pada pendampingan perintisan SLB, Bambang ikut membidani lahirnya SLB Purworaharjo di Purwosari tahun 2006. Hal ini dilanjutkan dengan lahirnya SLB Krida Mulya di Rongkop.
”Saya sempat takut merintis SLB lagi karena tak mudah. Tetapi, saya tak bisa menolak panggilan itu karena, bagi saya, membantu anak-anak berkebutuhan khusus itu kental unsur kemanusiaannya,” katanya.
Selain mendampingi perintisan awal, Bambang turut memantau perkembangan sekaligus mengusahakan kemajuan setiap SLB. Hingga kini, dia masih memainkan peran sebagai Dewan Pembina di SLB Purworaharjo dan Seksi Pendidikan di SLB Krida Mulya.
Ia bercerita, kendala klasik yang dihadapi SLB di pedesaan adalah dana dan keterbatasan guru. Mayoritas guru SLB berstatus honorer. Bambang pun harus berjuang keras mencari peluang pendanaan tanpa ”menjual” kondisi anak-anak berkebutuhan khusus.
Karena itu, sering dia harus mengeluarkan uang dari kocek pribadi demi kelanjutan pendidikan para murid. Apalagi, pendidikan di semua SLB yang dibidani Bambang gratis. Untuk menutupi biaya operasional, ia mendapat bantuan dari para donatur, yang jumlahnya tak tetap.
”Saya ingin semua anak berkebutuhan khusus di Gunung Kidul bisa sekolah,” kata Bambang menunjukkan tekadnya.
Jumlah SLB di Gunung Kidul sekarang ada delapan, dua di antaranya berstatus negeri. Ini masih belum sepadan dibandingkan dengan banyaknya anak berkebutuhan khusus, yang berdasarkan data 2008 berjumlah 900 orang. ”Kami berharap anak berkebutuhan khusus bisa mendapatkan kedudukan yang sama dengan anak normal, biar mereka tak rendah diri,” kata Bambang sambil menambahkan, masih ada anak berkebutuhan khusus yang belum terdata.
Dia yakin, sama seperti anak lain, setiap anak berkebutuhan khusus pun punya potensi yang berbeda-beda. Bambang mencontohkan, salah satu anak didiknya yang tunanetra kini menjadi guru SLB. Siswanya yang lain berhasil menjadi juara lomba matematika tingkat nasional.
Sumber: kompas, 11/2/10
Tidak ada komentar:
Posting Komentar